Dalam surah Attaubah ada 4 bulan yang di mulyakan Allah SWT
di antaranya bulan Muharam dalam bulan ini terdapat berbagai peristiwa agung
yang menjadi Ibrah atau pelajaran bagi umat manusia diantaranya pada tanggal 10
Muharam di namakan sebagai hari Asyura yang berasal dari bilangan Arab ’Asyrah’
berarti sepuluh adalah hari pertama Allah SWT menciptakan alam semesta. Pada
hari itu pula untuk pertama kalinya Allah menurunkan hujan. Pada 10 Muharram
itu juga Allah menciptakan Arsy Lauhil Mahfudz dan malaikat Jibril.
Pada hari itu pula di catat peristiwa agung di terima
taubatnya nabi Adam kepada Allah setelah memakan buah khuldi, pohon terlarang
di Surga. Pada tanggal 10 Muharram juga Nabi Idris di angkat oleh Allah
kelangit. Nabi Nuh di selamatkan Oleh Allah setelah bumi di tenggelamkan selama
enam bulan. Dan Nabi Ibrahim di selamatkan Allah dari pembakaran Namrudz.
Pada tanggal ini juga Allah menurunkan kitab taurat kepada
Nabi Musa. Tanggal yang sama ketika Nabi yusup di bebaskan dari penjara dan
Nabi Ya’kub di kembalikan kembali penglihatannya, Nabi Ayub di sembuhkan dari
penyakit kulitnya serta di keluarkannya nabi Yunus dari perut Ikan Paus selama
40 hari 40 malam.
Hal yang penuh mukjizat itu juga menjadi saksi terbelahnya
laut merah menjadi dua, menyelamatkan nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran
tentara fir’aun. Pada tanggal 10 Muharam itu juga kesalahan-kesalahan Nabi Daud di hapuskan Allah, Nabi sulaiman di
karuniai kerajaan yang besar dan Nabi Isa AS di angkat ke langit.
Pada tanggal 10 Muharam ini pula terjadi peristiwa duka yang
menyayat hati umat Islam yaitu pembantaian sayyidina Husein bin Ali bin Abi
Tholib, Cucu kesayangan Rosulullah SAW.
Tragedi ini terjadi ketika Imam Husein bersama rombongannya sedang dalam
perjalanan menuju Kuffah untuk memenuhi panggilan rakyat Irak yang berjanji
akan membai’atnya sebagai Khalifah menggantikan ayahandanya Ali bin Abi Tholib.
Semula banyak yang tidak setuju dengan kepergiannya,
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar menyarankan agar ia tetap di kota
Madinah. Sahabat-sahabat Imam Husein itu masih trauma, karena penduduk kuffah
pernah mengkhianati kesetiannya kepada Khalifah Ali bin Abi Tholib.
Keberangkatannya terdengar oleh khalifah Yazid bin Muawiyah.
Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menghadang rombongan Husein.
Maka berangkatlah 4.000 tentara yang di pimpin oleh ibnu
ziyad mencegat rombongan sayyidina Husein yang hannya berjumlah puluhan orang
dari kerabat dekat Rosulullah SAW, di sebuah tempat bernama Karbala. Pasukan
Ibnu Ziyad melakukan pengepungan dan penyerangan.
Pertempuran yang tidak sebanding pun tak terelakan dan berakhir
dengan di bantainya seluruh anggota rombongan
kecuali adik sayyidina Husein bernama Siti Zainab dan keponakannnya Ali
Zainal Abidin putra bungsu dari Imam Husein. Yang di kemudian hari melahirkan
banyak keturunan yang bersambung kepada beliau diantaranya : Assegaf, Assakran,
Al Atas, Alhabsyi, Alidrus, Al Jufri, Al Hadad, Al Munawwar, Al Bahar, Baharun,
Banahsan ,bin Syihab dan lain sebagainya bisa dilihat pada Silsilah keturunan
Rosulullah dari Sayyidina Husein.
Berkaitan dengan itu ada kelompok yang memperingatinya
dengan cara melukai diri, menyayat tubuh sambil berdarah dengan dalih mengenang
sayyidina Husein padahal hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Rosul mengajarkan agar kita berpuasa sunnah pada tanggal 10
Muharram sabda beliau SAW:
Yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ
الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah puasa
Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat
malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu." (HR.
Muslim, no. 1982)
Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas,
Ibnu Umar, dan Aisyah bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah
berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Sementara Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan tentang puasa Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak penah melihat Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam bersemangat puasa pada suatu hari yang lebih
beliau utamakan atas selainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan
pada satu bulan ini, yakni bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengabarkan tentang nilai keutamaannya dalam sabdanya,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
"Puasa hari 'Asyura, sungguh aku
berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu."
(HR. Muslim no. 1975)
Disunnahkan pula untuk menambah puasa Asyura dengan puasa
pada hari sebelumnya, yaitu tanggal Sembilan Muharram yang dikenal dengan hari
Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi kebiasaan puasanya Yahudi dan Nashrani.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau
berkata,
“Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa
padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah
hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu,
pada tahun depan insya Allah kita berpuasa
pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR.
Muslim, no. 1916)
alasan yang paling kuat disunnahkannya puasa hari
Tasu’a adalah untuk menyelisihi ahli kitab. Sabda Nabi SAW tentang puasa
‘Asyura,
لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti
akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullaah dalam komentar
beliau terhadap hadits, “Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan
berpuasa pada hari kesembilan”, Keinginan beliau untuk berpuasa pada hari
kesembilan maknanya agar tidak membatasi pada hari itu saja. Tapi
menggabungkannya dengan hari ke sepuluh, baik sebagai bentuk kehati-hatian
ataupun untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani.